Baru-baru ini, Indonesia kembali dihadapkan pada masalah serius terkait kebocoran data pribadi, yang kali ini melibatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kebocoran data tersebut menghebohkan publik karena mencakup jumlah yang sangat besar—sekitar 6 juta data NPWP. Informasi sensitif ini diduga telah dijual di Dark Web oleh seorang individu atau kelompok dengan nama samaran Bjorka.
Kasus ini terungkap setelah hacker dengan nickname bjorka membocorkan data NPWP dan diperdagangkan di dunia maya dengan harga mencapai 150 juta rupiah. Kejadian ini segera memicu kekhawatiran luas, terutama di kalangan masyarakat yang memiliki NPWP. Banyak yang mempertanyakan keamanan data pribadi yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Tidak hanya berisi informasi tentang NPWP, data tersebut diduga dapat digunakan untuk berbagai kejahatan siber, termasuk penipuan finansial. Dampak potensial dari kebocoran ini sangat besar, mengingat data NPWP tidak hanya terkait dengan keperluan perpajakan, tetapi juga seringkali digunakan untuk berbagai kepentingan administrasi publik dan swasta.
Data yang bocor mencakup informasi pribadi seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat, nomor telepon, dan email. Kebocoran ini semakin meresahkan karena nama-nama pejabat negara, termasuk Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, disebut dalam insiden ini.
Peretasan ini mencuat setelah terungkap bahwa lebih dari 10.000 sampel data NPWP telah dibocorkan oleh pihak peretas. Selain Presiden Joko Widodo, beberapa tokoh penting lain yang namanya muncul dalam daftar kebocoran ini antara lain Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, Budi Arie Setiadi, Sri Mulyani Indrawati, Askolani, Yustinus Prastowo, Farchan Noor Rachman, Pratikno, Erick Thohir, Muhadjir Effendy, Yaqut Cholil Qoumas, Zulkifli Hasan, Hadi Tjahjanto S.IP, Ir. Airlangga Hartanto, Madu Situmeang, Catur Lestiyo Utomo, Muhammad Abdul Jakin, Syahrul Ramadhan, Rotama Yasa Rosario Samosir, Mohammad Misbahul Munir, Tukimin, Vera Devita Siregar, Mulyadi, Lukas Ade Wismaji.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini tengah berada dalam tahap investigasi serius untuk memastikan keabsahan data yang diduga bocor. Langkah ini dilakukan sebagai respon terhadap kekhawatiran bahwa data yang beredar dapat digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, khususnya para peretas, yang berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat.
Dalam upayanya, DJP berfokus pada identifikasi sumber kebocoran yang menjadi celah bagi pihak-pihak jahat. Proses ini melibatkan audit menyeluruh terhadap sistem keamanan mereka untuk mengetahui bagaimana data-data sensitif seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bisa terekspos. Selain itu, DJP tidak hanya berkomitmen untuk menghentikan kebocoran data, tetapi juga telah menyiapkan sejumlah langkah pencegahan untuk menghindari terjadinya insiden serupa di masa depan.
Bersamaan dengan upaya investigasi ini, DJP juga mengimbau masyarakat agar lebih waspada terhadap kemungkinan modus penipuan yang berawal dari kebocoran data tersebut. Pasalnya, data NPWP yang bocor dapat dimanfaatkan oleh peretas untuk menyamar sebagai petugas pajak. Dengan berpura-pura menjadi otoritas resmi, mereka dapat mencoba melakukan pemerasan terhadap wajib pajak yang tidak waspada. Oleh karena itu, DJP mengajak masyarakat untuk berhati-hati dan selalu memverifikasi identitas setiap petugas pajak yang berhubungan dengan mereka, guna menghindari kerugian lebih lanjut.
Kebocoran ini menjadi perhatian publik karena tidak hanya menyangkut data individu biasa, tetapi juga melibatkan data pejabat tinggi negara yang memiliki peran penting dalam pemerintahan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran yang serius mengenai keamanan data pribadi di Indonesia, terutama dalam konteks meningkatnya insiden peretasan dan ancaman siber. Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah konkret untuk menangani dan mencegah kebocoran lebih lanjut, serta memastikan perlindungan data warga negara lebih aman di masa depan.
(slawiayu/roy)