Warteg, atau warung tegal, telah menjadi ikon kuliner yang melekat dengan identitas masyarakat Tegal. Warteg bukan hanya sekadar tempat makan sederhana, tetapi juga mencerminkan budaya dan kearifan lokal orang Tegal yang tersebar di berbagai sudut wilayah Jabodetabek. Namun, di balik popularitas warteg, ada kisah lain dari orang Tegal yang merantau. Mereka, yang berasal dari kabupaten, bukan kota, lebih banyak membuka usaha nasi goreng dan martabak di perantauan. Perbedaan wilayah asal inilah yang memengaruhi pilihan usaha mereka.
Orang-orang yang menjalankan warteg di Jabodetabek umumnya berasal dari Kecamatan Tegal Selatan, sebuah wilayah di Kota Tegal yang sudah lama dikenal sebagai pusat budaya warteg. Sementara itu, para penjual nasi goreng kebanyakan berasal dari daerah pegunungan di Kabupaten Tegal, seperti Kecamatan Bumijawa dan Kecamatan Bojong. Mereka membawa cita rasa khas pegunungan yang berbeda dari warteg, menciptakan variasi kuliner yang memperkaya pengalaman bersantap masyarakat urban. Sedangkan pedagang martabak yang kian marak di Jabodetabek, mayoritas berasal dari Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten Tegal, sebuah daerah yang seolah menjadi "pusat martabak" di Tegal.
Ada alasan tersendiri mengapa warga Kabupaten Tegal lebih memilih berjualan nasi goreng dan martabak ketimbang membuka warteg. Sebagian besar dari mereka merasa bahwa warteg sudah menjadi dominasi warga kota, dan mereka ingin menghadirkan sesuatu yang berbeda, yang lebih mencerminkan identitas daerah asal mereka. Selain itu, keahlian memasak nasi goreng dan martabak yang diwariskan turun-temurun di keluarga mereka menjadi faktor penentu dalam memilih jenis usaha yang dijalani.
Untuk memahami lebih dalam fenomena ini, saya mencoba berdiskusi dengan beberapa teman yang menjadi pedagang disekitar Jakarta. Dari percakapan itu, terungkap bahwa ada kebanggaan tersendiri dalam memperkenalkan cita rasa khas daerah pegunungan melalui nasi goreng dan martabak. Mereka merasa bahwa dengan berjualan makanan ini, mereka tidak hanya mencari nafkah, tetapi juga menjaga dan menyebarkan tradisi kuliner daerah mereka di tanah rantau.
1. Warisan
Salah satu alasan kuat mengapa banyak warga Kabupaten Tegal memilih berjualan nasi goreng dan martabak dibandingkan membuka warteg yakni karena ini merupakan usaha yang diwariskan secara turun-temurun. Tradisi ini telah mendarah daging di beberapa keluarga, di mana profesi berjualan nasi goreng atau martabak diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contohnya yakni Anam, seorang pedagang nasi goreng yang melanjutkan usaha ayahnya. Anam bukan satu-satunya dalam keluarganya yang menjalani profesi ini; paman-pamannya juga menekuni usaha yang sama, memperlihatkan bagaimana profesi ini telah menjadi warisan keluarga.
Cerita serupa juga dialami oleh Fajri, seorang pedagang martabak. Usaha martabak yang dia kelola sekarang ini sebenarnya ialah milik sang ayah, yang kemudian diteruskan kepadanya. Fajri juga menyebutkan bahwa banyak kerabatnya yang juga berjualan martabak, menunjukkan betapa kuatnya tradisi ini dalam lingkup keluarganya. Tradisi ini tidak hanya memastikan kelangsungan usaha keluarga, tetapi juga membangun jaringan yang kuat antar pedagang yang memiliki ikatan darah.
Bahkan bagi mereka yang tidak langsung mewarisi usaha keluarga, pilihan untuk berjualan nasi goreng dan martabak sering kali datang dari pengalaman bekerja dengan orang lain dalam bidang tersebut. Biasanya, mereka sebelumnya bekerja di bawah bimbingan kerabat atau sesama warga yang berasal dari daerah yang sama. Kedekatan ini tidak hanya memberikan kesempatan belajar, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan budaya di antara mereka. Jadi, meskipun tidak langsung menerima warisan usaha, mereka tetap terhubung dengan tradisi keluarga dan komunitasnya dalam bidang kuliner.
2. Modal Ringan
Salah satu alasan lain mengapa banyak warga Kabupaten Tegal memilih berjualan nasi goreng dan martabak ketimbang membuka warteg ialah faktor modal yang lebih ringan. Usaha warteg membutuhkan investasi awal yang cukup besar, terutama untuk menyewa tempat. Sewa tempat untuk warteg biasanya harus dibayar tahunan, bukan bulanan, yang berarti jumlah uang yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Selain itu, ada juga kebutuhan modal tambahan untuk membeli peralatan dan perlengkapan dapur yang lengkap, menjadikan usaha warteg sebagai opsi yang lebih mahal bagi mereka yang ingin memulai bisnis.
Di sisi lain, usaha nasi goreng dan martabak tidak memerlukan tempat yang besar atau permanen seperti warteg. Usaha ini bisa dijalankan di pinggir jalan, yang tentunya menghemat biaya sewa. Bahkan jika harus menyewa tempat, biayanya jauh lebih terjangkau, sehingga tidak terlalu membebani keuangan para pedagang. Modal yang diperlukan untuk memulai usaha nasi goreng dan martabak jauh lebih kecil, menjadikannya pilihan yang lebih realistis dan mudah dijangkau bagi banyak warga Kabupaten Tegal yang ingin merantau dan berdagang di kota-kota besar.
Selain modal yang lebih rendah, usaha nasi goreng dan martabak juga menawarkan fleksibilitas yang tinggi. Pedagang nasi goreng bisa berjualan keliling dengan menggunakan gerobak, sementara penjual martabak bisa menggunakan mobil bak terbuka untuk berpindah-pindah lokasi. Fleksibilitas ini tidak hanya memungkinkan mereka menjangkau lebih banyak pelanggan, tetapi juga mengurangi risiko bisnis dengan tidak terikat pada satu tempat. Menurut pengalaman teman saya, modal untuk membuat gerobak dan membeli peralatan untuk usaha ini tidak mencapai Rp10 juta, sehingga membuatnya semakin menarik bagi mereka yang ingin memulai usaha dengan dana terbatas.
3. Resiko Rendah
Alasan ketiga yang mendorong banyak warga Kabupaten Tegal untuk berjualan nasi goreng dan martabak yakni ketidakmauan untuk mengambil risiko besar dalam usaha. Meskipun sebenarnya ada banyak kuliner khas Tegal yang bisa dipasarkan lebih luas, seperti sate Tegal, soto tauco, olos, dan tahu aci, para perantau dari Kabupaten Tegal memilih untuk tidak mempertaruhkan nasib mereka dengan menjual makanan yang kurang dikenal di Jabodetabek. Makanan-makanan khas tersebut mungkin memiliki cita rasa yang unik, tetapi ketidakfamiliaran mereka di kalangan warga Jabodetabek membuatnya berisiko tinggi untuk dijual.
Jakarta, dengan kehidupan yang berjalan tanpa henti dari pagi hingga pagi lagi, memberikan peluang besar bagi penjual nasi goreng dan martabak. Kedua makanan ini sudah menjadi bagian dari budaya kuliner yang akrab bagi masyarakat di kota besar. Ketika malam menjelang, dan denyut aktivitas masih terus berlangsung, banyak orang mencari sesuatu untuk mengganjal perut mereka, dan nasi goreng serta martabak menjadi pilihan yang aman dan dikenal. Mereka yang bekerja hingga larut malam atau yang baru selesai beraktivitas di malam hari dapat dengan mudah menemukan penjual nasi goreng dan martabak yang tetap buka hingga dini hari, menjadikan kedua makanan ini sebagai andalan bagi mereka yang lapar di malam hari.
Dengan demikian, daripada mengambil risiko menjual makanan yang mungkin tidak laku, banyak warga Kabupaten Tegal lebih memilih untuk menjual nasi goreng dan martabak. Ini merupakan pilihan yang dianggap lebih aman karena keduanya sudah mapan di pasar kuliner Jabodetabek. Keputusan ini bukan hanya tentang mengejar keuntungan, tetapi juga tentang memastikan kelangsungan hidup usaha mereka di tengah persaingan yang ketat di ibu kota.
4. Komunitas Kuat
Alasan terakhir yang menjelaskan mengapa banyak warga Kabupaten Tegal lebih memilih berjualan nasi goreng dan martabak di Jabodetabek dibandingkan membuka warteg itu keberadaan jaringan komunitas yang kuat. Orang-orang Tegal yang berjualan nasi goreng memiliki komunitas mereka sendiri, begitu juga dengan mereka yang berjualan martabak. Komunitas-komunitas ini bukan sekadar perkumpulan sosial, melainkan jaringan yang saling mendukung dan memberikan manfaat nyata bagi para anggotanya.
Di dalam komunitas ini, terdapat sistem iuran, kumpulan, dan bahkan arisan yang mempererat hubungan antar anggota. Ketika ada anggota komunitas yang sakit, mereka saling menjenguk dan memberikan dukungan moral. Jika ada yang mеn&â#1110;ngg&â#1072;l, komunitas ini siap memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan. Selain dukungan sosial, komunitas ini juga berperan dalam aspek bisnis, seperti membantu para anggota mencari lokasi jualan yang strategis atau menyediakan bahan baku dengan harga yang lebih terjangkau. Solidaritas yang terbentuk di antara mereka didasari oleh kesamaan asal daerah, yang membuat ikatan komunitas ini semakin kuat.
Dengan adanya jaringan komunitas yang solid, para pedagang nasi goreng dan martabak dari Kabupaten Tegal merasa lebih aman dan didukung dalam menjalankan usaha mereka di tanah rantau. Ini berbeda dengan usaha warteg, yang meskipun juga bisa mengandalkan komunitas, namun tidak memiliki jaringan khusus yang sekuat komunitas penjual nasi goreng dan martabak. Jadi, tidak mengherankan jika banyak warga Kabupaten Tegal di Jabodetabek memilih jalur ini untuk mencari nafkah. Sekarang, alasan di balik pilihan mereka ini jelas terlihat, menjawab rasa penasaran yang mungkin muncul tentang mengapa mereka lebih memilih menjual nasi goreng dan martabak daripada membuka warteg.
(slawiayu/fat)