Wayang tutus, mungkin masih banyak yang belum tahu apa itu wayang tutus. Kebanyakan, masyarakat Indonesia lebih mengenal Wayang Golek dan Wayang Kulit. Namun, di Kabupaten Tegal ada budaya seni pewayangan yang menggunakan tutus sebagai wayang untuk dimainkan dalam gelaran seni wayang tutus. Setelah, sekian tahun wayang tutus yang sempat diperkenalkan oleh Ki dalang mbah kosirun asal Balapulang beberapa tahun lalu sekitar tahun 2013 an, Minggu malam (21/4/2019) Ki dalang Mbah Kosirun kembali menggelar pentas wayang tutus di Kedai Kopi Owh (KKO) Slawi. Pagelaran Wayang Tutus, dimaksud untuk kembali mengenalkan budaya asli tegal yang hampir punah, kemudian ada upaya dari berbagai kalangan untuk melestarikan Wayang Tutus.
Mbah Kasirun yang kini sudah berumur 78 tahun sangat bersemangat untuk menampilkan tradisi lisan yakni memainkan lakon Durna Gugur menggunakan wayang tutus diselingi tembang tembang tradisional dan wangsalang ala dalang Mbah Kosirun. Sebelum memainkan lakon Durna Gugur, mbah Kosirun terlebih dahulu mengulas wayang tutus yang dicetuskanya tersebut. Diceritakanya, Wayang tutus tak jauh beda dengan wayang kulit. Baik dari segi tokoh yang dibuat, cerita yang dimainkan, ukuran, maupun bentuk. Wayang tutus terbedakan dalam beberapa hal, diantaranya bahan, ketahanan, serta model pementasannya. Namun secara umum, wayang tutus merupakan sisi lain kreativitas seniman tradisional dalam bentuk wayang. Atau dapat dikatakan, wayang tutus merupakan versi lain bentuk wayang Jawa.
Wayang tutus terbuat dari bambu (bahasa Jawa: pring) yang dibelah tipis-tipis (tutus). Di pedesaan Jawa, tutus biasa digunakan para petani untuk mengikat padi mereka setelah panen, atau untuk mengikat bambu atau kayu yang akan dibawa pulang. Oleh karena wujudnya yang tipis, tutus rentan patah. Selain itu, bambu juga rentan oleh kutu, sehingga mudah keropos. Wayang tutus termasuk seni tradisi lisan. Wayang tutus dipentaskan oleh seorang diri sang dalang. Musik pengiring berasal suara mulut sang dalang. Pergantian antar-babak dalam cerita ditandai dengan ketokan kayu. Wayang tutus praktis menghadirkan pesan dalam cerita yang ditampilkan. Penonton didorong untuk memahami pesan dalam cerita. Oleh karena itu, wayang tutus menuntut keahlian sang dalang dalam bercerita.
Dalam pementasannya, wayang tutus biasa mengetengahkan cerita-cerita rakyat, semisal legenda atau dongeng. Sebagai contoh adalah cerita Mahabaratha, Ramayana, Gendowor, Martoloyo Martopuro dan lain sebagainya. Pementasan wayang tutus juga tidak membutuhkan waktu lama seperti wayang kulit. Wayang tutus cukup disampaikan selama kurang lebih 1-2 jam, dengan cerita yang lebih singkat. Tokoh dalam wayang tutus juga tidak sebanyak dalam wayang kulit. Jumlahnya wayang tutus sekitar 20 buah dengan gunungan. Meskipun demikian, menurut Mbah Kasirun, wayang tutus juga dapat dibuat lebih banyak sesuai kebutuhan.
Ki dalang Mbah Kasirun
kasirun merupakan dalang sekaligus pencipta wayang tutus. Sejak dulu, Ia hidup sendiri, sederhana, dan bersahaja. Mbah Kasirun mantan petugas penjaga pintu kereta, kini ia sudah pensiun. Usianya sudah 78 tahun, tubuhnya mulai mengurus, namun ia masih kuat memenuhi panggilan untuk mendalang di mana saja. Begitu juga saat ia diminta untuk mendalang di Kedai Kopi Owh (KKO) Slawi, Minggu malam (21/4/2019) kemarin. Ia mendalang wayang tutus selama kurang lebih satu jam.
Di kalangan seniman Tegal dan masyarakat sekitar, ia dikenal dengan Kasirun pring. Pring merujuk pada asal tutus. Ia tak risau dengan sebutan itu, bahkan ia senang, karena masyarakat mengenalnya. Kasirun belajar mencipta wayang tutus secara otodidak (belajar sendiri). Semula ia hanya suka menonton wayang kulit. Lalu ia berimajinasi dan mencoba membuat wayang dari tutus bekas ia mengikal padi. Setelah itu, dahulu ia mencoba memainkan wayang tutus buatannya di sawah di hadapan teman-temannya layaknya dalang. Seusai pentas, ia membagi-bagikan wayang tutus buatannya ke teman-temannya secara percuma.
Dalam usianya yang sudah senja sekarang, Kasirun Pring masih terus membuat wayang tutus, di rumahnya yang sempit dan kurang terawat, wayang tutus buatannya memenuhi dinding kamarnya. Wayang-wayang itu ditata rapi sepanjang tembok kamar, namun tidak dengan gamelan yang dimilikinya, berserak tak teratur. Di usianya yang semakin senja, Kasirun pring tetap setia dengan kesenian tradisional yang digelutinya. Ia bertekad melestarikannya. Namun sangat disayangkan, ia tak punya keturunan, jadi tak ada lagi penerusnya.
(slawiayu/fat)